4:12 AM
Nyanyanya
Bangunan letter U berdinding gribig bambu itu mendadak membisu.
Sepuhan angin sejuk dari arah selatan pegunungan sana terasa hambar. Derap
langkah kaki-kaki jenjang nampak terseok berjalan ke arah masjid di halaman
utama, terlihat seakan tak bernyawa. Begitupun gema adzan shubuh dari speaker
masjid, melengking merdu menyambut bola raksasa kemerahan di ufuk timur, juga terdengar
hampa dan kosong. Seperti tak tampak denyar-denyar nafas kehidupan, walau
kenyataannya bangunan itu berjamur, disesakki beribu makhluk pencari nur ‘ilmi.
Sunyi dan senyap,
layaknya bangunan tua tak berpenghuni warisan nenek moyang sekian abad silam.
Tetapi denyut nadi mereka mengabarkan bahwa mereka masih hidup. Bukan jasad
yang teronggok mati-kaku, melainkan nafas-nafas himmah kehidupan mereka yang
nyaris direnggut maut. Bahkan perlahan sirna, berpisah jauh entah kemana. Hampa
dan hambar ialah dua kata yang pantas untuk menggambarkan suasana bangunan itu
–pagi ini, Pondok Pesantren Kebon Bambu Al-Islamy. Ya, usai beberapa puluh jam
lalu malaikat maut dari langit menjemput sosok berambut kapas itu. Dia, sosok
yang disegani, dimuliakan dan dihormati setiap buah bibir, tanpa praduga
ataupun pertanda.
***
Bakda shubuhan
kemarin aktivitas sakral para santri berjalan normal, mengaji di setiap
sudut-sudut pondok. Riuhan mereka menelusuk tiap jengkalnya, terasa sejuk dan
damai. Tak tergoyahkan walau angin pegunungan membisikkan dingin.
Sama sekali tak
ada yang tahu atau sekedar isyarat umum bahwa bencana memilukan akan terjadi di
detik-detik selanjutnya.
Tepat pukul lima
lebih seperempat menit dari arah kantor pusat Kang Fatih -kepala pondok tergopoh
menuju griya pengasuh. Satu menit selanjutnya menyusul
dua pengurus lainnya, berlari dan membendung cemas diwajah. Sekonyong-konyong
mobil Avanza hitam di bagasi menyala, tiga pengurus tadi dan dua orang lelaki
lainnya buru-buru sekali membopong tubuh kaku, keluar dari pintu griya. Bu Nyai
Aisyah dan Ning Salma mengekor dibelakang, seberkas mendung menggelayut diwajah
keduanya. Tatkala mobil itu bergegas melaju cepat meninggalkan pondok, sontak
berbagai pertanyaan mencuat cepat diantara wajah-wajah santri yang menyaksikan
kejadian ganjal pagi itu. Tatapan cemas, ragu dan takut bercampur menjadi satu
tanpa berujung pada sebuah jawaban pasti.
“Apa yang terjadi
sebenarnya?”
“Siapa yang barusan mereka bopong? Abah Anwar
kah?”
“Mengapa mereka
buru-buru sekali memasuki mobil?”
Mereka tak berani
menjawab yakin, sebab fakta belum terbaca di depan mata. Selanjutnya mereka
cukup mengatupkan doa-doa kebaikan kepada Sang Khalik, atas pemandangan samar
itu. Menilik entah siapa sebenarnya sosok tubuh yang dibopong itu.
Tetapi doa
hanyalah doa dan ikhtiar hanyalah ikhtiar, jika ternyata takdir Tuhan menjawab
lain mau bagaimana lagi? Makhluk hina seperti mereka hendak berbuat apa?
Melawan takdir ataukah cukup menelan bulat-bulat tanpa sisa?
Hingga ternyata
sekitar pukul tujuh, sang waktu mengabarkan angin kepiluan tanpa menelusup
permisi pada keadaan. Kang Fatih turun dari motornya, lantas berlari ke arah
kantor pusat. Kucuran deras air mata menganak sungai di kedua belah pipinya.
Isak tangis menyayatnya mampu membuat lidahnya kelu untuk sekedar menjawab
sapaan saat beberapa pengurus menghadangnya penuh tanda tanya cemas.
Dengan suara
bergetar menahan isak tangis tertahannya, Kang Fatih mulai memecah suasana pagi
dan segala aktivitas para santri di setiap sudut-sudut pondok. Seperti halnya
terserang sengatan listrik beribu volt, sejurus mereka diam, terkesiap. Telinga
mereka pasang baik-baik, karena awal dari ucapan Kang Fatih saja sudah dapat
mengirim denyut kepiluan.
“Hiks… hiks…
innalillahi wainnalillahi rooji’uununn. Telah ber..puulang ke rahmatullaaah,
kyai kitaa hiks… guru kita, almukarrom KH. Anwar Muhammad. Huhuhu… pagi tadi
ba’da shubuh. Dimohon santri-santri segera bergegas mengambil air wudhu,
berkumpul di masjid untuk membacakan ayat al-qur’an untuk beliauu..,”
Plass… pada detik
itu juga waktu seakan terhenti tanpa kendali. Nafas-nafas seakan terhenti,
denyut nadi terhenti, aliran darah terhenti. Semuanya terhenti untuk beberapa
saat usai telinga mereka menangkap jelas kabar bencana memilukan itu. Saat
waktu kembali bergerak. Sontak pekik tangis menyayat menggelegar seluruh
seantro pondok Kebon Bambu itu. Para santri di dalam kantin keluar, tangis
mereka pecah meninggalkan makanan di meja-meja. Para santri didalam kamar mandi
tergugu menahan tangis bersama guyuran air dingin. Para santri di dalam kamar
dan komplek langsung keluar, berhenti, saling tatap menahan pilu serta amukan
tangis menggila. Semua makhluk di sana menagis tersedu, dijalan, dihalaman,
disetiap sudut-sudut pondok. Hingga makhluk yang tak kasat mata sekalipun. Tak
perlu menunggu lama untuk menyaksikan banjir tangis mereka disana-sini,
terhadap berita memilukan pagi itu, sebab Kyai mereka satu-satunya dijemput
Allah tiba-tiba.
Selanjutnya bagi
pengurus yang mampu menahan ketegaran hati segera mengomando, menggiring para
santri untuk segera mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Beberapa saat
kemudian sambil menunggu mobil avanza hitam muncul membawa tubuh dingin Kyai
Anwar, lantunan ayat suci Al-Qur’an membahana, menelusuk tiap jengkal tanah, bercampur
dengan derai air mata yang masih sulit terkikis habis.
Suara-suara
bernafas pilu itu mendadak senyap tatkala mobil avanza hitam datang memarkir di
halaman depan griya Almukarrom. Mereka langsung bangkit, berjubel keluar hendak
menyaksikan sebuah pemandangan yang belum mereka percayai betul-betul. Dan
ketika pemandangan di depan mata mereka mengabarkan kejelasan, lagi, isak
tangis kembali tercipta sempurna bersamaan berontak beberapa santri yang
memaksa ingin membopong tubuh dingin terbalut kain kafan itu, memasuki pintu
griya.
Sungguh hanya
orang-orang yang tak punya hati jika mendengar kabar memilukan ini tentang
wafatnya sosok ulama bersahaja –Kyai Anwar malah tertawa bahagia. Bukan denyar
kesedihan yang menyapa, apalagi jika melihat pemandangan nyata di depan mata
serta pekik tangis menderu para santri laksana dengkuran lebah saat diganggu
sang pengusik. Sebab Kyai Anwar ialah sosokyang pantas mereka muliakan, segani,
hormati dan takdzimi. Siapa pun tak akan mampu menggambarkan segala lembar kebaikan
yang kasat mata maupun samar dari sosok berambut kapas itu. Terlebih beliaulah
yang telah melahirkan Pondok Kebon Bambu ini dan tentunya juga melahirkan
generasi-generasi agamis berjubah takwa, berpencar memenuhi tiap daerah di
tanah air ini. Dan ini merupakan kali pertama sebuah kabar duka menyapa
tiba-tiba, mengusir segala ketenangan. Lagipula siapa yang tak akan berduka
jika menghadapi takdir berupa kematian?
Saat para pengurus dan alumni serta masyarakat
bahu-membahu mempersiapkan segala langkah selanjutnya terhadap jasad Sang Kyai,
Bu Nyai Fatimah nampak berjalan tergesa menuju masjid. Dari wajahnya sama
sekali jelas tergambar ketegaran dan ketabahan, tak ada air mata atau bekas
menggenang di pipinya, walau bening matanya memang memancarkan duka
terselubung. Beliau hendak berbicara di depan para santri. Baru saja langkah
kakinya menyentuh lantai masjid, senyap seketika merambat ke seluruh ruangan.
“Santri-santriku
cukup sudah kalian menangisi kepergian Abah. Derai air mata kalian percuma,
sia-sia saja keluar tetap tak akan mengubah keadaan. Apalagi berharap Abah bisa
kembali bangun, sangat tidak mungkin. Ini sudah takdir Allah, Dia menjemputnya
begitu cepat tanpa memberi kesempatan sedikit kepada kita untuk mempersiapkannya.
Kita tidak perlu takut atau malah berfikiran buruk kedepannya, nanti siapa yang
akan memimpin pondok? Mengatur dan memimpin pengajian serta jama’ah? Bagaimana
kehidupan pondok selanjutnya tanpa beliau? Juga bagaimana dengan anak-anaknya
serta saya sebagai istrinya? Dan berbagai fikiran buruk lainnya. Hilangkan!
Kerena hakikatnya beliau hanyalah titipan Allah, karena titipan pasti suatu
saat nanti Dia akan mengambil kembali. Mungkin sekarang inilah nafas terakhir
beliau. Sekali lagi tak perlu kalian membebani fikiran dengan kesedihan
berlarut-larut, berfikiran buruk. Kita masih punya sosok yang abadi, yang akan
selalu memimpin kita tanpa batas waktu. Siapa? Dia adalah Allah ‘Azza Wajalla,
Sang Maha segalanya…” ungkap Bu Nyai Fatimah berapi-api, himmah ketegarannya
berkobar seiring seperti tengah membius para santri dengan sapuan sejuk angin
dari langit, hingga mampu menundukkan mereka, menghentikan tangis dan kesedihan
tanpa pengobat yang jelas. Semua diam membisu, menunduk dalam, mendengarkan
tajam setiap untaian kata dari sosok bidadari bumi Kyai mereka, hei! Lihatlah
betapa tegarnya istri beliau, menghadapi sayap kehidupannya yang
patah-hilang-pergi ke langit dibawa malaikat tanpa memberikan jeda waktu
sedikitpun untuk sekedar saling menukar sapa perpisahan.
Beberapa saat setelahnya
sedikit demi sedikit ketenangan hadir diantara jiwa-jiwa mereka. Hanya satu-dua air mata menetes, itupun
karena mencoba hati mengkiblat pada sajadah ketegaran dan ikhlas tanpa batas.
Seiring serangkaian prosesi mengurus jenazah Kyai Anwar berlangsung amat
khidmat. Meski ribuan jama’ah berbondong-bondong silih berganti menyolati dan
menyaksikan perpisahan terakhir sebelum benar-benar hilang ditelan tanah.
Lantunan ayat suci
Al-Qur’an dan iringan tahlil terus berlanjut tanpa jeda, bergilir setiap santri.
Hingga dua puluh empat jam itu suasana syahdu menyapa tanpa henti. Demi sosok
guru mulia satu-satunya, Kyai Anwar Muhammad –Abah Anwar.
***
Walaupun untaian
nasehat berlumur kesejukan selalu dielu-elukan disetiap kesempatan, terlebih
oleh Bu Nyai Fatimah sendiri. Dan hati mengkiblat pada keikhlasn penuh, namun
siapa yang utama menggerakkan hati dan jiwa-jiwa mereka? Disamping memang Allahlah
Sang Muqollibal Qulub serta berbagai harapan menguap. Sementara hati dan jiwa,
mereka sendiri yang miliki, mereka yang menentukan Maka keesokan harinya
denyar-denyar nafas himmah kehidupan para santri terasa masih tak bernyawa.
Langkah-langkah kaki jenjang mereka terasa senyap, begitu pula lantunan
sholawat nabi dan ayat suci Al-Qur’an mendayu-dayu, terdengar pilu mengiris
hati. Semua itu karena satu hal, mereka belum begitu siap menelan takdir Tuhan
bulat-bulat, terhadap dijemputnya sosok bersahaja Kyai mereka. Dan ini ialah
kali pertama kabar memilukan mengejutkan cakrawala kehidupan pondok, maka tak
perlu menyalahkan sedini ini jika diawal kehilangan sosok pelengkap jiwa itu
nyawa himmah kehidupan mereka belum benar-benar pulih, untuk kembali merajut nafas-nafas kehidupan
secara damai.
Karena sekali lagi
siapa yang mampu melawan takdir Tuhan? Kematian. Ikhlas dan tabah ialah sikap
yang pantas diusungkan, terutama pada kali pertama sang waktu mengabarkan
demikian.
***
Cerpen
Oleh: Iqbal Syarifuddi Muhammad
0 comments :
Post a Comment