“Hei,
kamu siapa?” tanyaku bingung bercampur kaget.
“Aku
wortel. Senang bertemu denganmu. Dan aku adalah kamu,” jawabnya tersenyum.
“Maksudmu?”
“Ya,
kamu adalah aku yang sebenarnya,” ucapnya terakhir, lantas menghilang begitu
saja, meninggalkan jejak-jejak pertanyaan yang satu-dua mulai mencuat di otak.
Dia wortel? Aku adalah dia? Maksudnya?
Ah,
kepalaku berdenyut –pusing. Abaikan sajalah sesosok tak dikenal itu dan
bergumul pertanyaan yang semakin menyesakki fikiran. Nanti akan kucoba cari
tahu kunci titik terang maksudnya secara fleksibel, tanpa perlu berlarut-larut
menguras otak. Walau aku yakin ia pasti akan menghantuiku di kemudian hari.
***
Sosok
itu hanya sekali mendatangiku, namun secara perlahan mampu merubah maindset serta sikapku 1800.
Endingnya aku akan tenggelam dalam perenungan panjang. Hingga titik kecil
cahaya muncul semakin membesar di antara kegelapan jagat. Ya, kini aku sadar,
aku adalah wortel. Aku adalah dia dan dia memanglah aku.
Ini terbukti usai berbagai cobaan
atau aku sering menyebutnya kejutan memilukan, menghantam tameng keimananku
yang semula tegak berdiri kokoh. Tepatnya ialah waktu itu aku amat yakin,
optimis, tegar dan bersemangat sekali hendak merevolusi lembaran buku kehidupan
gelapku, yakni dengan berani hendak masuk ke sebuah atmosfer agamis –pondok
pesantren salaf. Di samping memang kedua orang tuaku nampak putus asa
mengendalikan kenakalanku dan aku pun sudah amat bosan. Tak perlu bertanya bagaimana
reaksi mereka menyambut keiginanku itu.
Namun
baru beberapa langkah tangga kupijak, menghalau duri-duri berserakan, aku sudah
KO. Berbagai kejutan memilukan menghadang di awal-awal laksana jutaan anak
panah menghujan di langit lepas. Aku menjadi down dan terpuruk, tak kuat meghadapinya walau sekejap. Entahlah
kenapa, yang pasti keadaan seperti ini yang kualami. Jangankan tertatih
mengadaptasi diri, bernafas pun terasa sesak. Hingga tiga hari selanjutnya dua
kali aku kabur dari pondok bak seorang buronan penjara, kembali ke rumah.
Sekali lagi tak perlu bertanya bagaimana reaksi kedua orang tuaku selanjutnya.
Usai
murkanya kedua sayap hidupku habis-habisan, di suatu senja sosok itu muncul di
depan cermin, menyapa dalam gelap. Masih kuingat suara nyaringnya melengking
gendang telinga, Aku wortel. Senang
bertemu denganmu. Dan aku adalah kamu, kamu adalah aku yang sebenarnya.
***
Masih
tenggelam dalam kubangan kegamangan, ayah memaksaku untuk kembali ke pondok
tanpa peduli anaknya berteriak kesakitan di tarikya menghadap Sang Kyai. Baru dihadapannyalah
tanpa sadar aku tertunduk kaku seiring tangis ayah terasa memekik telinga dan menghantam
diding hatiku.
Hikmah
dari kejadian saat itu berefek pada sikapku yang perlahan berubah, entah
seperti apa sulit kugambarkan. Apalagi untaian nasehat bernada lembut dari
sosok lelaki sepuh berambut kapas itu, mampu mengakar dalam otak serta
menciptakan kedamaian jiwa.
Satu
tahun berikutnya ternyata kejutan memilukan kembali hadir tanpa di sangka,
terasa lebih mencekam sesuai dengan situasi dan posisiku kini. Kucoba amalkan
nasehat dari guru-guruku supaya tidak kembali terperosok kedalam jurang yang
sama, meski harus bersusah payah menahan tangis dan berontak suara hati. Dan
kali ini yang tak kumengerti ialah efeknya aku menjadi pendiam, tertutup dengan
siapa saja yang ingin mencampuri urusan. Dingin dan tak bersahabat adalah dua
kata yang mungkin mewakili keadaanku kini, seiring masih terasa jelas kejutan
memilukan itu terus mengiringi kehidupku. Lantas tiba-tiba sosok lain muncul di
hadapan, bukan sosok yang dulu.
“Hai,
senang bertemu denganmu,” sapanya tersenyum ramah.
“Siapa
kamu? Wortel?” tanyaku dingin.
Dia
menggeleng, “Bukan. Wortel sudah pergi. Kini aku yang hadir dalam jiwamu.
Kenalkan aku adalah telur. Dan aku adalah kamu. Ingat! Kamu adalah aku,”
tegasnya menatapku tajam.
Aku
murka, sesaat sebelum kepalan tanganku hendak melayang. Plass… sosoknya lenyap
begitu saja. Aku menggeram, menahan nafas kesal. Telur? Aku adalah telur? Apa
maksudnya lagi?
Pertemuan
tak bersahabat denganya ternyata bukan hanya menjadikan fikiranku di sesakki
denyar-denyar kebingungan. Tetapi juga menciptakan emosi berlipat-lipat. Otakku
terasa nyaris pecah, belum lagi berbagai masalah memilukan datang silih
berganti tanpa peduli meminta waktu supaya berhenti walau sejenak. Aku menjadi
sosok berbeda, semakin tertutup, dingin, tak mau diganggu siapa saja. Mungkin
bisa jadi orang-orang menyangka bahwa aku stress atau lebih tepatya ialah gila.
***
Tatkala
jiwaku masih terhimpit dalam keterpurukan, lelaki sepuh berambut kapas itulah
yang bersusah payah menarikku tertatih. Ya, saat hujan cobaan memilukan itu
menyapa lepas tanpa celah untuk menegosiasi sang waktu. Pertemuan tanpa di sangka
dengan sosok lain beberapa waktu lalu belum juga kutemukan titik terang
kegelapannya. Sosok lain yang mengaku tertanam dalam jiwaku kini, telur sebut
namanya.
Ia
menyerahkan secangkir kopi hitam dengan kepulan uap jelas bergumul di atasnya. Amat
wangi merasuk menggetar bulu hidung. Selanjutnya ia hanya menatap lamat-lamat
ke arahku, refleks aku menunduk.
“Kamu
harus menjadi ini. Kopi. Aroma khas dan wanginya mampu manciptakan ketenangan.
Semakin panas airnya semakin wangi kopinya. Terlebih ketika kita menyesapnya
lembut, mengalirkan segala keyamanan di jiwa. Dia yang awalnya hanya berupa
serbuk tatkala bercampur dengan air panas, mampu merubah segala yang di bawanya.
Kau harus pahami makna kopi dalam kehidupan,” ujarnya lembut penuh ketegasan.
Aku mendongak, tak paham apa maksudnya.
Tanpa
perlu menunggu responku selanjutnya, beliau bangkit. Lantas mengajakku pergi,
entah kemana. Yang pasti aku hanya manut di belakangnya dan hening menyelimuti
kami berdua.
Pertama, kami mengahadap sebuah perkumpulan
anak muda dan orang tua di sebuah pendopo. Sosok lelaki dewasa berpeci hitam
nampak tengah bercakap, berbaur diantara mereka.
“Dia
adalah sosok yang mampu merasuki makna kopi dalam jiwanya. Jika kau perhatikan
sikap dan gerak-geriknya, ia seperti tak memanggul berbagai masalah. Lihat
sajalah! Merekapun tak menyadarinya. Tapi jika kau tahu dibalik semua itu, ia
tengah dirundung duka. Seminggu yang lalu istri dan anaknya di kampung di jemput
Allah. Di tambah lagi dengan usaha dagangnya, nyaris ambruk,” jelasnya memberi
tahu. Aku hanya diam mendengarkan. Tapi sungguh, seperti ada desir di hati yang
sulit kutafsirkan.
Kedua, ia menuntunku menghadap sebuah surau
kecil. Di dalamnya ada sebuah pengajian anak-anak yang di pimpin oleh seorang
lelaki seumuran ustadku di pondok. Lelaki itu nampak antusias mengajar ngaji.
“Dia
juga ialah mampu merasuki makna kopi dalam jiwanya. Berbagai permasalahan dan
cobaan menghimpitnya di tengah kesibukan sebuah amanah dari pondok, memimpin
masyarakat. Bisa kau bayangkan apa jadinya jika kau tiba-tiba di tugasi berbaur
di kampung yang mayoritas awam. Belum lagi karakter setiap orang disana yang
barang tentu bisa membuatmu tercengang. Apa yang akan kau lakukan? Tapi dia?
Lihat saja!”
Terakhir, ia menghadapku pada sosok lelaki
seumuranku yang terlihat khusuk membaca Al-Qur’an di sudut masjid. Sebentar,
bukankah ia Fahri teman sebayaku di pondok?
“Dia
temanmu kan? Pasti kau tahu seperti apa sikap dan pribadinya selama ini.
Seperti tak memiliki masalah, bahkan mampu mengusai diri dengan kesibukannya
mengaji, musyawaroh dan aktivitas lainnya. Karena apa? karena ia berhasil menjadi
sosok kopi sesungguhya. Sosok kopi dalam kehidupan. Meresapi makna kopi lebih
dalam. Orang-orang tak mengetahui, juga kau sendiri bahwa ia sebenarnya dirundung
duka, mengidap penyakit menyedihkan. Seminggu sekali ia harus izin keluar untuk
cuci darah. Belum lagi dengan cobaan lain yang selalu akan datang meyapa tak
terduga,” kali ini hatiku terasa membasah.
Masih
dalam keterpakuan, lelaki sepuh di depanku itu menatapku lagi dalam-dalam. Seolah
hendak mencari sebuah mutiara berharga di balik kedua mataku. Secangkir kopi
hitam ia serahkan ke atas telapak tanganku.
“Sekali
lagi, kau harus bisa menjadi ini. Kopi, seperti mereka. Merajut dan merasuki
makna kopi dalam jiwamu. Hingga kau temuka sosok kopi sebenarya dalam
kehidupan. Bukan lagi keterpurukan atau malah sikap tak bersahabat dengan
lingkunganmu ketika berbagai cobaan menghadang menghiasi sepanjang rel
kehidupanmu. Karena cobaan pasti akan selalu hadir berganti-ganti tanpa
disangka. Maka menjadi sosok kopilah kunci menghadapinya. Kau akan menebar
manfaat kepada siapa saja usai melewatinya. Semakin panas airnya semakin harum
pula wangi kopi itu menggetar bulu hidung. Juga kau akan terasa mewangi,
semakin nikmat menghalaunya. Bahkan mampu mengubah warna lingkunganmu sesuai
yang kau bawa. Seperti itulah sosok kopi yang harus kau miliki,” jelas Kyaiku
itu panjang lebar dengan nada amat lembut, mampu menancap kuat ke setiap inci
memori otak.
Aku
menunduk dalam, seperti tersiram embun kesejukan dari langit. Kutatap secangir
kopi hitam di genggaman tanganku. Sekarang aku paham, apa yang harus kulakukan.
Menjadi kopi, merasuki jiwa degannya. Menjadi kopi sesungguhnya dalam kehidupan.
Bukan mengkiblat pada kedua sosok itu, yang menyapaku tak terduga.
***
Iqbal Syarifuddin Muhammad ialah nama
pena dari iqbal saripudin. 20 tahun yang lalu ia menyapa dunia dengan selamat.
Kini masih nyantri di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy Ciwaringin-Cirebon. Juga
menjadi mahasiswa di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Selain hari-harinya di isi
dengan tholabul ‘ilmi, ia pun masih
suka mengeluarkan imajinasinya, lewat menulis cerpen-cerpen dan novel. Salah
satu mimpi kecilnya ialah karyanya dapat terpajang di setiap rak toko buku, dan
yang pasti dapat menebar hikmah-hikmah bermanfaat. Bisa di hubungi, FB: Iqbal
Saripudin Muhammad, Wattpad: Iqbalsaripudin.
Cerpen
Oleh: Iqbal Syarifuddi Muhammad
0 comments :
Post a Comment